PENDAHULUAN
A. Lata
Belakang
Di dalam Al-qur’an telah di jelaskan bahwa hanya milik Allah lah
segala yang ada di dunia begitupun pada harta yang kita miliki, manusia
hanyalah sebagai pengelola. Tujuan dalam memiliki harta pun tidak lain yang
utama adalah untuk menambah ketakwaan kepada-Nya, dan dalam aspek sosial agar
mendistribusikan kekayaan yang di miliki karena dalam harta kita ada bagian
milik orang lain yang membutuhkan, agar harta itu tidak beredar pada
orang-orang kaya saja.
Al-Qur’an menyebut
kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang
terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan
penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan
yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya
terutama di dalam Islam.
Salah satu titik
terpenting dalam sistem kepemilikan dalam Al-Quran adalah pengakuan bahwa alam
semesta beserta isinya adalah milik Allah. Di dalam Al-Quran Allah swt
berfirman:
لِّلَّهِ
مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ وَإِن تُبۡدُواْ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ
أَوۡ تُخۡفُوهُ يُحَاسِبۡكُم بِهِ ٱللَّهُۖ فَيَغۡفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ
مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٢٨٤
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di
dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 284)
Harta (al-mal) merupakan bagian pokok
dalam kehidupan manusia, unsur dharuri yang tidak bisa ditinggalkan
dengan begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik yang
bersifat materi maupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut,
terjadilah hubungan horizontal antar manusia (mu’amalah), karena pada dasarnya
tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan
tetapi saling membutuhkandan terkait dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir
sebagai objek transaksi, harta bisa dijadikan objek dalam transaksi jual-beli,
sewa-menyewa, partnersip (kontrak kerja), atau transaksi ekonomi lainnya.
Harta (al-mal) merupakan bagian pokok
dalam kehidupan manusia, Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek
transaksi, harta bisa dijadikan objek dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa,
partnersip (kontrak kerja), atau transaksi ekonomi lainnya. Secara asal, harta
benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang tidak memungkinkan
untuk memiliki harta tersebut. Seperti harta yang dikhususkan untuk memenuhi
kebutuhan dan manfaat publik (fasilitas umum) seperti jalan umum, jembatan,
benteng, sungai, laut, musium, perpustakaan dan lainnya. Dalam pandangan syar’i,
keberadaan harta yang ada di tangan manusia tidak serta merta dapat dikosumsi, tetapi
harus dilihat lebih dahulu dari berbagai aspek.
Didalam makalah ini, penulis ingin
menjelaskan dengan detail bagaimana kedudukan harta publik dan jenis-jenisnya,
kemudia bagaimana kriteria harta tersebut dikategorikan sebagai harta public
dana pa perbedaannya dengan harta non publik, semoga makalah ini membantu
pembaca dalam hal penambahan pengetahuan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aset Publik (Public Goods)
Pengertian Aset
Menurut
kamus Bahasa Indonesia asset adalah kekayaan atau modal[1]
atau secara luas bisa juga dimaknai bahwa aset adalah sebuah sumber ekonomi
yang diharapkan dapat memberikan manfaat usaha di masa mendatang.
Harta
dalam bahasa Arab disebut, al-mal yang berasal dari kata مال- يميل- ميلا yang berarti condong, cenderung, dan miring (manusia
cenderung ingin memiliki dan menguasai harta).[2]
Pengertian
harta (مال) menurut bahasa seperti yang dikemukakan oleh Muhammad bin Abi Bakar
ar-Razi ialah:
المال: معروف، ورجل مالُ أيْ كثيرُ المال
Ar-Razi dalam kamusnya ini mengartikan harta
dengan sesuatu yang sudah dikenal, kerena memang harta sudah dikenal oleh semua
orang, sehingga ketika disebut lapaz "مال"
maka orang langsung mengerti karena sudah mengetahuinya.
Muhammad Abu Zahrah juga mendefinisikan
harta menurut bahasa seperti di bawah ini:
المال فى اللغة كل ما ملكته من جميع الاشياء.
Harta dalam bahasa adalah segala sesuatu
yang engkau miliki.[4]
Dan juga Wahbah Zuhaili mengemukakan
pengertian harta menurut bahasa seperti dibawah ini:
المال: كل ما يقتنى ويحوزه الإنسان بالفعل سواء أكان
عينا أو منفعة
Harta
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia secara langsung,
baik berupa benda maupun manfaat.[5]
Dari definisi tersebut dapat diambil
intisari bahwa pengertian harta menurut bahasa adalah seperti barang yang
mungkin dimiliki oleh manusia baik berupa benda ('ain) seperti emas, perak,
tanah, dan rumah maupun manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.[6]
Harta adalah sesuatu yang maujud dan
dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan.[7]
Ini merupakan pendapat menurut ulama lainnya.
Adapun harta menurut istilah ahli fiqih
terbagi dalam dua pendapat:
1. Menurut Ulama Hanafiyah
المالُ كلُّ مايمكنُ حِيازَتُهُ واخْرَازُهُ ويُنْتَفَعُ
بهِ عادَةً.
Artinya:
"Harta
adalah segala sesuatu yang mungkin diambil dan dikuasai serta dimanfaatkan
menurut adat kebiasaan"[8]
Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa untuk bisa dianggap
sebagai harta, harus memenuhi dua unsur:
-
Dimiliki dan dikuasai. Apabila sesuatu itu tidak bisa
dimiliki dan dikuasai, maka tidak dianggap harta. Contohnya seperti udara dan
panasnya matahari.
-
Dapat dimanfaatkan menurut adat kebiasaan. Apabila sesuatu
itu tidak dimanfaatkan menurut adat kebiasaan maka tidak dianggap sebagai
harta. Contohnya seperti satu biji beras, atau satu tetes air.
Hanafiyah membedakan antara harta
dan milik sebagai berikut:
-
Milik adalah segala sesuatu yang dapat digunakan secara
khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.
-
Sedangkan harta adalah segala
sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dan dalam
penggunaannya, harta bisa dicampuri orang lain. Jadi menurut Hanafiyah yang
dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a'yan).[9]
2.
Pendapat Menurut Jumhur Fuqaha
Defenisi harta menurut jumhur fuqaha, juga dikemukakan oleh
Wahbah Zuhaili:
فهو كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه
"Harta
adalah segala sesuatu yang bernilai yang mewajibkan kepada orang yang
merusaknya untuk menggantinya".
Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa harta ialah segala sesuatu yang mempunyai
nilai, baik berupa benda yang kelihatan, seperti hak dan manfaat. Definisi ini
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi'i:
لا يقع اسم مال
إلا على ماله قيمة يباع فيها ويلزم متلفه وإنَّ قلت[10]
Dari
dua definisi ini terlihat bahwa adanya perbedaan pandangan antara Hanafiyah dan
Jumhur. Hanafiyah berpendapat bahwa manfaat bukan termasuk harta, sedangkan
jumhur berpendapat bahwa manfaat itu termasuk harta, sebab yang penting dari
suatu benda adalah manfaatnya bukan zatnya. Yang dimaksud manfaat disini adalah
faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak, seperti menempati
rumah, atau mengendarai mobil.
Pengertian Publik
Publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki
masyarakat, serta berhubungan dengan, atau memengaruhi suatu bangsa, negara, atau komunitas. Publik
biasanya dilawankan dengan swasta atau pribadi, seperti pada perusahaan publik, atau suatu jalan. Publik juga
kadang didefinisikan sebagai masyarakat suatu bangsa yang tidak berafiliasi
dengan pemerintahan bangsa tersebut. Dalam bahasa Indonesia,
penggunaan kata “publik” sering diganti dengan “umum”, misalnya perusahaan umum
dan perusahaan publik.[11]
Dalam lingkup
organisasi/ perusahaan publik dibedakan menjadi:
- Publik internal dan publik eksternal
- Publik primer, sekunder, dan marjinal
- Proponent (publik yang memihak), opponent (publik yang menentang), dan uncommitted yang berarti publik yang tidak peduli. Sebagai perbandingan, saat suatu perusahaan memiliki 40 dari 50 karyawan yang uncommitted maka perusahaan dapat dikatakan "tidak sehat".
- Mayoritas diam (silent majority) dan minoritas vokal (vocal minority)
Pengertian
Aset Publik
Harta yang telah ditetapkan hak miliknya
oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Benda-benda
yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara
bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik
umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Kepemilikan publik adalah seluruh
kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim
sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu
dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang
memilikinya secara pribadi.
B.
Jenis dan macam Aset Publik
Setidak-tidaknya, benda yang dapat
dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu[12]:
1. Harta milik umum jenis pertama.
Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang (sumber
alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh
para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari
pendapatannya merupakan hasil milik bersma dan dapat dikelola oleh Negara, atau
Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas
dapat digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah SAW,
membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang tambang yang sudah ada
(sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada saat itu bilal telah meminta kepada
Rosulullah agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya, dan beliaupun
memberikannya kepada bilal dan boleh dimilikinya.
Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang
lainnya yang jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan untuk
diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya
seperti halnya juga Negara boleh memberikan barang tambang seperti itu kepada
mereka. Hanya saja mereka membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya
kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun banyak.
Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya)
tidak terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan umum bagi seluruh rakyat,
sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang atau beberapa orang. Tidak boleh
diberikan kepada seorang ataupun orang tertentu.
Menurut al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang
terbuka (terdapat dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak memerlukan usaha
yang berat, seperti garam, dan (batu) celak mata, dengan barang tambang yang
terdapat diperut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti
emas, perak, besi, tembaga, maupun yang bentuk cair seperti minyak bumi, atau
berbentuk gas seperti gas alam.
Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada
dalam perut bumi baik berbentuk cairan maupun padat dan memerlukan peralatan
dan industri. Maka Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan
rakyat, karena tergolong harta milik umum.
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang
(depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilik
umum adalah hadist yang diriwayatkan dari Abidh bin hamal sl-mazany yang
artinya:
“Sesungguhnya
seorang laki-laki bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah, maka
beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang
laki-laki yang ada dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa yang telah
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu
laksana (memberikan) air yang mengalir” akhirnya beliau bersabda: (kalau
begitu) tarik kembali darinya” (HR abu daud)
Rasulullah saw. pernah mengambil kebijakan untuk memberikan
tambang garam kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini. Namun, kebijakan tersebut
kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang
diberikan Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.[13]
Yang perlu diketahui, apabila barang
tambang dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan industri yang dimiliki
Negara, maka kepemilikan atas peralatan dan industri tersebut boleh tetap
menjadi milik Negara, namun Negara boleh mengubahnya menjadi milik umum. Dan
apabila eksploitasi barang tambang yang dilakukan Negara menggunakan peralatan
dan industri milik perorangan, maka yang bersangkutan memperoleh upah sebagai
ganti rugi usaha/ atau jasa dan manfaat yang diberikannya, atau alat yang
disewakannya. Namun, yang perlu diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang
atas alat-alat dan industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi
barang tambang yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya
banyak, boleh menggunakan peralatan dan industri milik Negara dan industri
milik individu.
Tipe lain dari hak milik adalah pemilikan secara umum
(kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan
tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki
makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang
dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini
memiliki bentuk yang berbeda beda. Misalnya: semua harta milik masyarakat
yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda
kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada
masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain
diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik
masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan
umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara
kolektif adalah wakaf.
2.
Harta milik umum jenis kedua.
Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum diperlukan bagi
seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak
akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah telah menjelaskan mengenai
sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari hadist Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
المسلمون
شركاء في ثلاث في الماء,والكلاء,والنارِ
“kaum
Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”
Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang
pertama kali diperbolehkan Rasulullah umtuk seluruh manusia.
Harta ini tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas,
tetapi meliputi setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Mencermati secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum
adalah bahwa seluruh manusia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan
jika sarana tersebut hilang maka manusia kesusahan dalam mencarinya. Setiap
alat yang dipergunakan di dalamnya, karena hukum dan status kepemilikannya
sama, yaitu sebagai milik umum. Demikian juga alat-alat pembangkit listrik yang
dibangun diatas air (sumber) keperluan seperti saluran dan sungai, tiang-tiang
penyangganya, dan alat-alat lain yang diperlukan, sebab alat-alat ini
menghasilkan listrik dari hasil umum, sehingga status hukum alat-alat ini juga
sama milik umum. Menurut Labib, jika alat pembangkit listrik merupakan bagian
dari kepemilikan umum maka tidak boleh dimiliki oleh perseorangan, hal ini
disebabkan penguasaan dalam kepemilikan umum dilarang oleh Negara. Dan begitu
juga sebaliknya, dalam artian jika semua sarana dimilki individu atau
perusahaan maka boleh memilikinya secara pribadi.
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di
atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku
untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan
listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya
adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik
umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3.
Harta milik umum jenis ketiga.
Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya asal
pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut
al-Maliki, hak milik umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti halnya
kepemilikan jenis pertama, maka dalil yang mencakup saran umum. Hanya saja
jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk
memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara hajat keperluan orang
banyak (umum).
Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW
menyatakan bahwa manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya mereka berhak
untuk melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/ batu dari jalan umum adalah
sedekah.
Jika kita melihat faktanya, kondisi asal pembentukannya
menghalangi seseorang untuk menghalangi seseorang untuk menguasai dan
memilikinya. Seperti tentang jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, dan
mereka bebas untuk melewatinya, dan seorang pun tidak boleh memilikinya.
Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/ memagari
sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasulullah SAW
bersabda:
الاَّ
لله ولرسولهِ لاحمىَ
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi
Allah dan Rasul-Nya”
Dengan kata lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta
milik umum kecuali oleh Negara. Makna hadist tersebut adalah tidak boleh
seseorang menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya
sendiri. Karena api, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air,
pipa-pipa penyalur air yang keadaannya tetap menjadi milik jalan umum, adalah
milik jalan umum. Tindakan mengambil alih sebagian jalan umum secara permanen
dan mengkhususkan individu menguasainya secara terus-menerus sama saja dengan
pengusaan, kecuali oleh Negara. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tadi
adalah milik umum.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak
boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh
hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk
mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi
seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari
benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bait al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil
atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal
ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith
al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan
Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang
diproduksinya kepada bait al-Mal.[14]
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya
seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang
rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara’
sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset
tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni :
Pertama, Pemanfaatan
Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai
besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap
individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai
untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput
milik umum.
Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai
peralatan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk
menyirami tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk
dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus selama
tidak membuat kemudharatan bagi individu lainnya. Sebagaimana setiap individu
diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan,
kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum
dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat
pihak lain yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan
jalan umum, laut, sungai, dan danau.
Kedua, Pemanfaatan
Di Bawah Pengelolaan Negara.
Kekayaan
milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh
setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta
biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya,
maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut.
Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah
pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya
sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh
menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan men¬dasarkan pada
asas mencari keuntungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan
mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi
komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar
negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.
Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum
itu kemudian didistribusikan dengan cara sebagai berikut:
Pertama,
dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional
badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi
administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan
distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta pemilikan umum untuk
keperluan ini,[15]
seperti pengembalian bagian zakat untuk keperluan operasi para amil yang
mengurusi zakat (dalam QS. At Taubah: 60).
Kedua,
dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini khalifah
boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk
keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan
semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang
tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah, dijual ke luar
negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri dibagi
keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah
gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. Juga untuk
menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran
belanja untuk jihad fi sabilillah.[16]
Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)
Mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh
rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa
memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala
Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak memiliki
ahli waris dan tanah milik Negara.
Diantara harta milik Negara adalah:
1.
Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada
pemilikinya
Padang pasir, gunung, lembah, tanah
mati yang tak terurus, dan belum pernah ditanami tanaman atau tudak terurus
atau tidak dikelola pengelolanya, maka tanah tersebut menjadi milik Negara.
انَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم
أقطعَ بلال ابن الحارث المزَني ما بين البحرِ والصخرِ
“bahwa Rasulullah SAW member bilal bin harits
al-Mazani(daerah) antara laut dan padang pasir”
Hadist ini menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah,
dan tanah mati yang tidak dimiliki seseorang menjadi milik Negara.
Milik Allah dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian
Rasulullah boleh mengaturnya, mengatur urusan dan pembagianny, dan izin untuk
menghidupkan dan membangunnya. Dengan keterangan ini, jelas bahwa padang pasir,
gunung, dan tanah mati adalah milik Negara. Pemerintah yang mengatur sesuai
dengan aturan yang berlaku dinegaranya sesuai kebaikan dan kemaslakhatan kaum
muslim.
2.
Tanah Endapan Sungai
Yang dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang tertutupi
air, seperti yang terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-tanah tersebut tertutupi
dengan air Eufrat dan tigris, daerah yang terapit oleh dua sungai itu tergenang
oleh air hingga maenutupi kawasan tersebut sehingga tanah itu tidak layak
lagi untuk pertanian. Dan tanah itu tidak cocok untuk pertanian karena air
menggenangi tanah tersebut, maka tanah itu termasuk tanah mati, tanah itu tetap
menjadi milik baitul mal dan milik negar, selama belum ada yang memiliki.
3.
Asy-Syawafis
Tanah yang dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negeri
taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang ditaklukan
yanag dahulunya milik negara yang ditaklukan, milik penguasa atau para pemimpin
negara itu, tuan tanah orang yang terbunuh dalam medan perang, atau tanah orang
yang lari dalam peperangan dan meninggalkan tanahnya, maka kholifah yang
mengatur semua itu untuk kebaikan dan kemaslakhatan Islam dan kaum
muslim.
4.
Bangunan dan Blairung
Yaitu setiap bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang
sebelumnya dipakai untuk struktur lembaga-lembaga yang dilakukan untuk urusan
organisasi-organisasi yang dan badan-badan pengawas, perguruan tinggi,
sekolah-sekolah, rumah sakit, atau bangunan yang dimiliki negara itu. Termasuk
pula pemilik negara adalah setiap bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari
harta baitul mal, lalu diperuntukkan bagi aparat/ lembaga negara, untuk
kepentingan negara dan biro milik negara dan sarana apapun yang dibangun
negara. Selain itu setiap bangunan atau blairung yang dihadiahkan atau
dihibahkan kepada negara, atau diwasiatkan kepada negara. Atau yang tida memiliki
ahli waris, atau milik orang murtad yang mati atau dihuku mati karena
murtadnya, semua itu milik negara.[17]
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis
kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya
dengan pandangan ijtihadnya adalah:
a.
Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan
perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
peperangan) dan khumus.
b.
Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah
yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
c.
Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah
kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
d.
Harta yang berasal dari daribah (pajak)
e.
Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil
pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang
diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
f.
Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari
sisa waris (amwal al-fadla)
g.
Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
h.
Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai
negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
i.
Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung,
pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh
pendapatan, sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara
keadilan, regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya.
Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang
rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber
pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan
atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang
tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber
kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan
kekayaan umum. Kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan
merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh
karena itu, sangat dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan.
Adalah merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras
bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan
mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.[18]
PENUTUP
Kesimpulan
Aset Publik adalah Harta yang telah ditetapkan hak miliknya
oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Benda-benda
yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara
bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik
umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Jenis dan macam Aset Publik seperti: barang
tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, sarana umum diperlukan bagi
seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak
akan menyebabkan perpecahan, harta yang keadaannya asal pembentukannya
menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi.
Kemudian ada kepemilikan Negara (milkiyyah
daulah) adalah harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya
menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada
rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini
adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya.
Diantara harta milik Negara adalah: Padang pasir, Gunung,
Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya, Tanah Endapan Sungai,
Asy-Syawafis, Bangunan dan Blairung seperti: Harta ghanimah, anfal, fay' dan
khumus. Harta yang berasal dari kharaj. Harta yang berasal dari jizyah. Harta
yang berasal dari daribah (pajak). Harta yang berasal dari usyur. Harta yang
tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris. Harta yang
ditinggalkan oleh orang-orang murtad. Harta yang diperoleh secara tidak sah
para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara’. Harta
lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati
yang tidak ada pemiliknya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I.Doi, Muamalah Syari'ah III. Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada.1996.
------------Penjelasan
lengkap hukum-hukum Allah (Syari'ah). Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
2002.
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah,
Abu ‘Ubaid al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik
(al-Amwal), cetk. I, alih bahasa Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani,
2006),
al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas
ekonomi islam, (jakarta: pt raja grafindo persada,2007)
As-Sarakhsi, al-Mabsûth, xxiii/164, Dar
al-Ma’rifah, Beirut.
Hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers,
2010,
Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Asybah wa
An-Nazhair fi Al-Furu', Dar Al-Fikr,
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati
Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, cet. I, alih bahasa Edrijani Azwaldi,
(Bandung: Mizan, 2007),
Meity Taqdir Qodratullah, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar,
(Jakarta: BPPB Kemendikbud RI, 2011),
Muhammad Abu Zahrah, Al-Milikiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi
Asy-Syariah Al-Islamiyah, Dar Al- Fikr Al-'Arabiy 1976. disadur dari buku
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.
Muhammad ibnu Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shahah,
Mushthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir 1338 H, disadur dari buku Drs. H. Ahmad
Wardi Muslich, Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah 2010.
Rachmat Syafe'I, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia,
2001
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, cet. VI, Hafidz
Abd. Rahman, (Bogor: Hizbut Tahrir Indonesia, 2004),
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiyah wa Adilatuh, Juz 4, dar
Al-Fikr, Damaskus, cet.III 1989. disadur dari
buku Drs.H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
[1] Meity Taqdir
Qodratullah, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta: BPPB
Kemendikbud RI, 2011), hlm 552.
[2] Dr. H. Hendi
Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 9
[3] Muhammad ibnu
Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, Mushthafa Al-Babiy Al-Halabiy,
Mesir 1338 H, hlm.504 disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Muamalat. Jakarta:Amzah 2010, hlm. 54
[4] Muhammad Abu
Zahrah, Al-Milikiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Asy-Syariah Al-Islamiyah,
Dar Al- Fikr Al-'Arabiy 1976, hlm 51 disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi
Muslich, Fiqih Muamalat, hlm 55
[5] Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiyah wa Adilatuh, Juz 4, dar Al-Fikr, Damaskus,
cet.III 1989, hlm. 40 disadur dari buku
Drs.H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat. hlm. 55
[6] Ibid,
hlm. 55
[7] A. Rahman
I.Doi, Muamalah Syari'ah III. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1996, hlm
17. Lihat juga A.Rahman I.Doi, Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah
(Syari'ah). Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2002.
[8] Prof. DR. H.
Rachmat Syafe'I, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001 hlm 22
[9] Hendi Suhendi,
op.cit. hlm. 10
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Publik
[12] As-Sarakhsi, al-Mabsûth,
xxiii/164, Dar al-Ma’rifah, Beirut. 1406.
[13] Abu ‘Ubaid
al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik (al-Amwal), cetk. I, alih bahasa
Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 362-362.
[14] Abdul Qadim
Zallum, Sistem
Keuangan di Negara Khilafah, hlm. 128-129.
[15] Taqiyuddin
an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, cet. VI, Hafidz Abd. Rahman, (Bogor: Hizbut
Tahrir Indonesia, 2004), hlm. 300.
[16] al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, (jakarta: pt raja grafindo persada,2007)
[17] Joseph E.
Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang
Lebih Adil, cet. I, alih bahasa Edrijani Azwaldi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm.
213.
[18]
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com